Showing posts with label artikel. Show all posts
Showing posts with label artikel. Show all posts

Reorientasi Pembelajaran Di Sekolah Dasar

2:48:00 AM
Tiga tantangan yang harus dihadapi oleh sekolah dalam upaya merealisasikan pendidikan abjad sesuai amanat presiden.
Pendidikan abjad hendaknya menjadi prioritas utama dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di Sekolah Dasar (SD). Pembentukan abjad yang dilakukan semenjak dini diyakini akan bisa merubah mental bangsa ini menjadi lebih baik. Hal itu diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Belanda beberapa waktu lalu. Presiden pun mengusulkan semoga 60 hingga dengan 70 persen bahan pelajaran di SD diarahkan pada pembangunan abjad penerima didik.

Baca juga: Presiden Minta SD Ditekankan Membangun Karakter

Apa yang disampaikan oleh presiden tersebut bersama-sama bukan hal yang baru. Sejak Ujian Nasional (UN) untuk tingkat SD dihapuskan, orientasi pembelajaran pun (seharusnya) mengalami pergeseran. Dalam hal ini membiasakan siswa untuk senantiasa melaksanakan perbuatan baik serta menanamkan kecintaan mereka terhadap dunia berguru seharusnya lebih dikedepankan daripada memaksa siswa untuk menguasai seluruh bahan yang tercantum dalam kurikulum.

Namun, pergeseran orientasi pembelajaran tersebut nampaknya masih jauh panggang dari api. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi oleh sekolah dalam upaya merealisasikan pendidikan abjad sesuai amanat presiden tersebut. Pertama, keberpihakan kurikulum. Pemberlakuan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) untuk tiap mata pelajaran secara tidak eksklusif telah menyempitkan makna maupun tujuan pendidikan yang sebenarnya, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Anak dianggap berhasil mencapai ketuntasan berguru apabila mereka bisa mengerjakan soal-soal di atas kertas. Sedangkan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepribadian menyerupai ketaatan mereka dalam beribadah maupun pengamalan norma-norma sosial justru tidak mendapatkan porsi yang semestinya.

Kedua, kesiapan sekolah lanjutan. Kenyataan menunjukkan, nilai akademik masih dijadikan pertimbangan utama oleh sekolah-sekolah lanjutan (SMP) untuk mendapatkan calon siswa gres dari Sekolah Dasar. Adapun abjad maupun sikap siswa selama di SD kurang begitu mendapatkan perhatian. Akibatnya, tujuan pembelajaran di SD pun lagi-lagi sebatas untuk mendapatkan nilai akademik setinggi-tingginya demi mendapatkan bangku di sekolah lanjutan (unggulan).

Ketiga, kondisi lingkungan sekitar. Semakin banyaknya pelajar yang menimbulkan rokok sebagai “teman setia” merupakan salah satu problem yang dihadapi oleh dunia pendidikan ketika ini. Banyaknya warung-warung di sekitar sekolah maupun rumah yang menjual rokok merupakan penyebab utama maraknya peredaran rokok di kalangan pelajar. Di samping itu tayangan televisi yang menjurus pada kekerasan maupun berbau pornografi pun menciptakan kiprah guru dalam membangun abjad anak semakin berat.

Untuk sanggup mengimplementasikan pendidikan abjad di Sekolah Dasar, dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah, sekolah dan orangtua. Sebagai pemegang regulasi pemerintah diharapkan bisa memainkan kiprahnya dalam membatasi peredaran minuman keras dan rokok, mengatur tayangan media elektronik, serta merancang sebuah kurikulum pendidikan dasar yang benar-benar berorientasi pada pembentukan abjad penerima didik. Adapun orangtua hendaknya menyadari betapa pentingnya kiprah mereka dalam melanjutkan pendidikan abjad yang dilakukan oleh guru di sekolah. Menciptakan lingkungan aman yang mendukung tumbuhnya abjad anak merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan demikian, pendidikan abjad di SD pun benar-benar sanggup terealisasi dan tidak hanya sebatas wacana.

*) Ditulis dan dikirim ke oleh Ramdan Hamdani. Guru di SD Islam Terpadu Alamy Subang, Jawa Barat

Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara Yang Hilang

7:09:00 PM
Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara yang Hilang Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara yang Hilang

Setiap tanggal dua Mei dijadikan sebagai hari pendidikan nasional. Dijadikan sebagai hari pendidikan nasional sebagai bentuk penghargaan pada Ki Hajar Dewantara atas pemikirannya dibidang pendidikan. Ki Hajar Dewantara populer dengan sekolah taman siswa dengan pola pengajaran atau metode sistem among. Metode yang digali dari kearifan lokal. Metode yang mengindonesia. Metode yang terlupakan.

Baca juga: Saripati Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Pola pengajaran Ki Hajar Dewantara telah tergantikan teori pendidikan Barat. Di kampus teori-teori barat diagung-agungkan sebagai sebuah menara gading. Hal ini telah membentuk pola pikir dan praktek sekuler dalam dunia pendidikan Indonesia; dan apa yang terjadi kini ini merupakan hasil dari pola pikir tersebut. Pendidikan tidak berhasil meneguhkan identitas sebagai bangsa melainkan justru telah mencabut sendi-sendi kebangsan sehingga menjadi bangsa yang tidak mempunyai identitas kebangsaan yang jelas. Pendidikan kini ini telah melahirkan bangsa yang ragu dan gundah perihal dirinya. Semuanya itu sebab hampir tiga puluh tahun lebih pemerintah menggunakan konsultan pendidikan dari barat yang tindak mengindonesia, “kurang paham” akan budaya atau kearifan lokal yang syarat akan metode belajar.

Ki Hadjar Dewantara memaparkan bahwa sistem Among merupakan metode yang sesuai untuk pendidikan sebab merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Pendidikan sistem Among bersendikan pada dua hal yaitu : Kodrat Alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya, dan Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak sampai sanggup hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan dalil yang berbunyi : Tut Wuri Handayani, Ing madya mangun karsa, Ing ngarso sung tuladho. Seorang dosen atau guru yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pamong harus menjadi contoh, fasilitor dan mendorong siswa dalam belajar.

Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu insan lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai insan yang utuh berkembang menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand ”. Ki Hajar Dewantara ingin mengajarkan pada kita bahwa mengajar dan mendidik siswa merupakan tanggung jawab bersama (Tripusat Pendidikan) suatu upaya pendidikan yang mencakup pendidikan di tiga lingkungan hidup, ialah lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Baca juga: Menciptakan Ruang Kelas yang Efektif

Dalam proses berguru mengajar Ki Hajar Dewantara menganalogikan kekerabatan guru siswa serupa dengan kekerabatan petani dan tanamannya. Untuk itu guru terhadap para murid harus berfikir, berperasaan dan bersikap sebagai Juru Tani terhadap tanamannya. Orang bercocok tanam harus takluk kepada kodratnya tanaman, janganlah flora ditaklukkan pada kemauan petani. Haruslah petani menyerahkan dirinya, yakni menghilangkan kemurkaan dirinya, dengan nrimo kepada kepentingan tanamannya dan mengejar kesuburan tanamannya semata-mata. Kesuburan tanamannya inilah yang menjadi kepentingan petani. Haruslah ia tahu akan perbedaan antara padi, jagung, dna flora lainnya dalam keperluan masing-masing untuk sanggup bertumbuh dengan subur dan sanggup berhasil. Karena itu perlulah si petani tahu dan mengerjakan segala ilmu atau pengetahuan pertanian, yang benar dan baik. Dalam pada itu janganlah membedabedakan pula dari mana asalnya pupuk, asalnya alat, atau asalnya ilmu pengetahuan pertanian, dan sebagainya; segala yang sanggup menyuburkan flora berdasarkan kodrat dan irodatnya harus digunakan petani.

Cara atau alat mendidik anak (siswa) berdasarkan Ki Hadjar Dewantara dimulai dari: memberi referensi (voorbeeld); adaptasi (pakulinan, gewoontevorming); pengajaran (leering, wulang-wuruk); perintah, paksaan, dan eksekusi (regeering en tucht); laris (zelfbeheersching, zelfdiscipline); pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngroso, beleving).

Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan ialah memanusiakan insan muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berkhasiat dan kuat di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Menghasilkan insan yang berwawasan Nasional Indonesia. Semoga.

*) Ditulis dan dikirim ke oleh Heronimus Delu Pingge. Pengajar di STKIP Weetebula Sumba Barat Daya NTT

Karakter Watak Atau Kebijaksanaan Pekerti

3:20:00 AM
Karakter atau budi pekerti bukan materi pelajaran Karakter Moral atau Budi Pekerti
Karakter atau budi pekerti bukan materi pelajaran, tetapi perbuatan yang harus ditanamkan.
Karakter moral atau karakter yaitu penilaian kualitas moral yang stabil individu tertentu. Konsep aksara sanggup menyiratkan banyak sekali atribut termasuk adanya atau kurangnya kebajikan ibarat empati, keberanian, ketabahan, kejujuran, dan kesetiaan, atau sikap yang baik atau kebiasaan. Karakter moral terutama mengacu pada himpunan kualitas yang membedakan satu individu dari yang lain - meskipun pada tingkat budaya, set sikap moral untuk yang satu menganut kelompok sosial sanggup dikatakan untuk bersatu dan mendefinisikannya budaya yang berbeda dari orang lain. Psikolog Lawrence Pervin mendefinisikan aksara moral sebagai "disposisi untuk mengekspresikan sikap dalam pola yang konsisten dari fungsi di banyak sekali situasi".

Kata "karakter" berasal dari kata Yunani Kuno "Charakter", mengacu pada tanda terkesan pada koin. Kemudian tiba berarti titik di mana satu hal diberitahu terpisah dari orang lain. Ada dua pendekatan dikala berhadapan dengan aksara moral. (1) Etika Normatif melibatkan standar moral yang mengatakan sikap benar dan salah. Ini yaitu tes sikap yang sempurna dan menentukan apa yang benar dan salah. (2) Etika terapan melibatkan isu-isu spesifik dan kontroversial bersama dengan pilihan moral, dan cenderung melibatkan situasi di mana orang-orang baik untuk atau terhadap duduk perkara ini.

Sebenarnya setiap insan semenjak zaman Nabi Adam sudah punya aksara mulia, yaitu aksara dasar yang paling hakiki yang diturunkan oleh Sang Maha Pencipta, yaitu aturan tingkah laris benar menurut agama samawi. Jika kita dikembalikan pada fatwa tiap agama samawi, niscaya semua agama mengajarkan wacana perbuatan baik dan proposal untuk melaksanakan, juga wacana akhir perbuatan buruk dan kewajiban untuk meninggalkannya (dalam fatwa agama Islam setiap muslim diwajibkan mempunyai akhlaqul karimah), dampakanya jikalau yang baik dilaksanakan dan yang buruk ditinggalkan niscaya membawa ketenteraman dan kesejahteraan hidup insan di dunia dan di akherat secara universal (rahmatan lil ‘aalamiin).

Setiap komunitas/etnik punya cita-cita yang sama, yaitu semua anggota komunitas sanggup melakukan pola kehidupan normatif sesuai dengan aksara kolektif yang dimiliki. Dalam hal ini kewajiban orang cukup umur harus bersikap jujur selain sebagai pelaku karakter, pemberi contoh, penasihat, pemberi worning, pemberi penghargaan dan hukuman secara adil terhadap diri mereka masing-masing dan terhadap orang lain terutama kepada generasi yang lebih muda.

Sebelum tetapkan sesorang mempunyai aksara cita-cita kolektif atau tidak, setiap anggota masyarakat cukup umur harus menengok diri sendiri apakah ia sudah berkarakter mulia atau belum, sehingga di dalam kehidupan bermasyarakat tidak timpang dan tidak saling menyalahkan. Bisa jadi terbentuknya aksara menyimpang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang sanggup meresahkan masyarakat luas dan divonis berkarakter buruk, bekerjsama hanyalah imbas dari perbuatan orang cukup umur yang menjadi anutan atau teladan nasional yang sudah menyimpang dari norma.

Karakter atau budi pekerti bukan materi pelajaran, tetapi perbuatan yang harus ditanamkan dari generasi awal ke generasi berikutnya sampai final zaman. Karakter tidak perlu diajarkan dalam bentuk pembelajaran, alasannya yaitu terbentuknya aksara yaitu perbuatan rutin dan latah dilakukan setiap hari. Guru tidak perlu mengajarkan dalam kelas secara teoritik alasannya yaitu sudah masuk (include) dalam pembelajaran semua mata pelajaran dan kehidupan sosial. Nilai-nilai aksara menurut budaya bangsa Indonesia sepert: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kretif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu. Semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/berkomunikasi, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan dan sosial, serta tanggung jawab sanggup tertanam dalam jiwa siswa jikalau hal itu dibiasakan dalam kehidupan sehingga tumbuh menjadi kebiasaan.

Siapa yang harus mempunyai aksara mulia? Semua anggota masyarakat (tua-muda, pejabat-rakyat, berpendidikan-tidak berpendidikan, beragama samawi-beragama ardhi) harus mempunyai aksara moral mulia/akhlaqul karimah. Tindakan salah kaprah yang sampai kini yaitu selalu membahas kesalahan pelajar/maha siswa alasannya yaitu dicap berkarakter buruk sehabis ada info tawuran pelajar, dekandensi moral pemuda, mahasiswa pengguna narkoba dan melayani sex komersial, dll., kemudian mencetuskan ide-ide atau program-program pendidikan karakter. Seharusnya bukan kesalahan para pemuda, pelajar, dan mahasiswa saja yang menjadi trading topic setiap mucul info negatif, kesalahan orang-orang kondang yang seharusnya dihormati yang lebih diutamakan untuk rehabilitasi dan perlindungan penularannya.

Sebenarnya semua insan dikala dilahirkan dalam kedaan fitroh/suci. Datangnya dampak buruk yang dampaknya menjadi aksara bangsa (karena terlatih dan menempel pada jiwa generasi muda) justru dari orang dewasa, alasannya yaitu kodrat insan dan binatang secara naluri/instink sifat genetika induk menghipnotis keturunan. Maka bekerjsama yang meyimpang lebih dulu yaitu generasi tua. Jika nilai-nilai aksara di atas sudah dilakukan dan tertanam dengan benar oleh orang-orang yang lahir dahulu, tentu generasi muda tidak perlu dikhawatirkan dan tidak pelu diadakan pendidikan aksara secara khusus.

Masalah yang terjadi kini yaitu sikap masyarakat sudah tidak normatif lagi, dan para pemuda, mahasiswa, serta pelajar banyak yang amoral. Para pejabat banyak yang korupsi, kejahatan semakin menjadi-jadi, sementara keadilan dunia semakin sulit dicari. Kenakalan remaja merajalela, begal motor dan geng motor selalu meneror, dan pemerkosaan semakin brutal. Banyak orang yang lupa pesan Pujanagaaga Mataram, Ronggowarsito: “Anemahi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, ora ngedan tan kumanan. Sak beja-bejane wong kang lali isih beja wong kang eling lan waspada.” (“Menemuhi situasi gila, repot untuk memilih, kalau tidak ikut gila tidak menerima bagian. Seuntung-untungnya orang lupa, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada”).

Baca juga: Memberi Contoh Positif Sebagai Upaya Membentuk Karakter Peserta Didik

Revolusi moral tidak segera dimulai berarti sengaja bunuh diri. Suatu bangsa akan semakin terpuruk mana kala aksara moral penduduknya tak terkontrol dan terkendali. Situasi dan kondisi yang semakin menjadi-jadi akan membentuk aksara moral/budi pekerti membunuh generasi yang berdampak pada kehidupan mendatang.

Tidak ada istilah terlambat untuk kembali ke kodrat. Masyarakat yang ingin bangun merevolusi diri secara bersama dan serentak mengubah watak buruk dan bertobat, jalan keluar dari keterpurukan masih terbuka. Hal ini tinggal bagaimana dan kapan memulai, bukan hanya sekedar bicara pendidikan aksara yang didengungkan santer. Sergera bertindak faktual solusi niscaya ada. Menunda sama halnya dengan apatis, membiarkan berarti menununggu kiamat tanpa ikhtiar.

Bagaimana menanamkan jiwa berkarakter moral/berbudi pekerti mulia? Resep untuk mengembalikan bangsa ini ke jati diri sesuai harapan, yang harus dilaksanakan secara serentak dan berkoordinasi antara lain melalui:

1. Konsistensi terhadap sistem semerintahan yang benar oleh semua pihak
2. Ketegasan penegak aturan dalam menegakkan keadilan
3. Keteladanan pegawanegeri negara dan tokoh masyarakat
4. Kesadaran penduduk terhadap implementasi norma agama, norma sosial, dan kelestarian lingkungan
5. Menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat secara mikro maupun makro
6. Penanaman akhlaqul karimah dan kaidah kehidupan bermasyarakat semenjak dini
7. Pembiasaan akhlaqul karimah dalam kehidupan rumah, sekolah, dan masyarakat
8. Melestarikan sikap tolong menolong dan gotong royong
9. Membiasakan sopan santun dalam segala bentuk berkomunikasi dan bertingkah laku
10. Menghargai dan melestarikan budaya bangsa
11. Mengutamakan musyawarah dalam mencapai mufakat
12. Saling menghargai dan menghormati sesama warga negara.

*) Ditulis oleh Indra. PNS di lingkungan didikpora kabupaten Agam Sumbar

Sekolah Dasar Dalam Tantangan Krisis Pendidikan

6:59:00 AM
Sekolah Dasar dalam Tantangan Krisis Pendidikan SD dalam Tantangan Krisis Pendidikan

Sekolah sebagai salah satu tripusat pendidikan merupakan sarana yang sengaja diciptakan oleh insan untuk mengemban kiprah memanusiakan manusia. Sekolah ini terletak dan berada di dalam lingkungan masyarakat yang menghendaki keberadaanya. Semakin tinggi contoh pikiran masyarakat maka semakin sentral dan penting kiprah sekolah dalam masyarakat tersebut. Hal ini dikarenakan sekolah tersebut merupakan wadah penyiapan generasi muda di dalam masyarakat tersebut. Semakin mantap sekolahnya semakin mantap pula generasi mudanya.

Di tanah air, keberadaan sekolah kita hingga ketika ini masih menuai kritikan akan keberadaan, proses, maupun terhadap para guru dan tenaga kependidikan. Kulminasi dari kritikan terhadap dunia pendidikan terjadi alasannya adanya kesenjangan atau kekontradiktifan antara tingkat pendidikan seseorang dengan perilakunya dalam kehidupan nyata. Dalam bukunya yang bertajuk Filsafat Pendidikan, Profesor Suparlan Suhartono (guru besar di Universitas Negeri Makassar) secara tegas menyampaikan hal tersebut. Berikut kutipan singkatnya: “para politisi bukan lagi memperjuangkan aspirasi rakyat melainkan memperjuangkan aspirasi konglomerat. Para penegak aturan tidak berorientasi pada keadilan dan keberadaban tetapi justru kebiadaban. Penyelenggara pendidikan sudah tidak peduli lagi terhadap pengembangan bakat, tetapi lebih tertarik pada urusan pangkat. Para penyelenggara kesehatan tidak mendidik untuk hidup sehat tetapi justru sibuk dengan pemasaran obat”.

Baca juga: Kesenjangan Pendidikan di Indonesia

Sekiranya problema pendidikan (perbedaan kesenjangan antara tingkat pendidikan dengan sikap kehidupan) yang telah dibeberkan di atas yaitu kenyataan. Tidak perlu kita meminta bukti, lembaran koruptor yang mulai terbuka perhalaman merupakan salah satu santapan tidak sedap dari dapur pendidikan yang dinikmati bangsa Indonesia ketika ini. Lalu muncul pertanyaan bagaimana seharunya pendidikan kita diselenggarakan?

Tulisan ini merupakan sebuah permenungan dan opini sederhana wacana pendidikan sekolah (sekolah dasar dan sekolah menengah) diselenggarakan semestinya.

Pendidikan Sekolah Dasar

Dalam sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan dilalui melalui dua jalur yakni pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah menyerupai kursus-kursus luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui acara berguru mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan, dimulai dari sekolah dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan sekolah diselanggarakan untuk memberi bekal dasar untuk hidup dalam masyarakat berupa pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar.

Tujuan Pendidikan dan Pentingnya Pemahaman Tujuan Pendidikan

Secara umum tujuan pendidikan dimuat dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sisdiknas Bab II Pasal 3, “pendidikan nasional berfungsi membuatkan kemampuan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi penerima didik supaya menjadi insan yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab”.

Tujuan pendidikan nasional ini memang terasa aneh dibandingkan dengan tujuan institusional, tujuan kurikuller, dan tujuan pembelajaran yang lebih terang dan kongkrit. Namun perlu dicermati dan dipahami bahwa tujuan nasional ini bersifat menyerupai induk yang menurunkan tujuan-tujuan berikutnya. Artinya dalam hierarki tujuan pendidikan kesemuanya harus mengacu pada tujuan nasional pendidikan. Oleh alasannya itu sangat penting untuk mengetahui dan memahami tujuan nasional secara benar dan tepat. Hal ini dimaksudkan supaya proses pembelajaran atau penyelenggaraan pendidikan bertitik tolak dan bermuara pada tujuan nasional tersebut.

Jika kita mencermati, pada irit saya hampir seluruh isi tujuan nasional ini menuntut atau memuat point-point domain afektif sebagai hasil berguru yang utama. Ini yang masih kurang dipahami oleh para guru. Tidak heran jika sekolah-sekolah hanya bisa membuat ladang kognitif/pengatahuan yang gersang pada otak anak tanpa adanya penanaman nilai-nilai kehidupan. Alhasil berdampak jelek bagi kehidupan alasannya lahir orang-orang pandai tetapi tidak cerdas yang tak berbudi. Mata pelajaran agama contohnya yang bersama-sama berupaya untuk menanamkan nilai-nilai moral kehidupan beralih pada penanaman pengatahuan agama. Pendidikan kewarganegaraan bukan menjalankan misi utamanya membudayakan nilai-nilai budaya lokal pancasila tetapi hanya sebatas pada penanaman pengatahuan kewarganegaraan. Coba saja tanyakan pada anak SD “apakah perbuatan mencuri itu baik atau buruk?” semuanya niscaya akan menjawab “buruk” tetapi tidak semua anak yang menyampaikan jelek itu dengan serta merta tidak mencuri. Terlalu praktis untuk mengetahui pengatahuan tetapi tidak praktis untuk menerapkanya.

Kesalahan Proses Pendidikan dan Upaya Perbaikanya

Pertama sekali yang mesti kita sepakati yaitu para guru mempunyai kiprah utamanya yakni membelajarkan siswa (membuat siswa belajar) bukan sekedar memberi pelajaran, artinya membuat penerima didik mengalami proses pendidikan secara langsung. Hampir niscaya salah satu penyebab utama gagalnya sekolah menghasilkan anak didik yang berbudi (cerdas) yaitu alasannya kesalahan dalam proses pendidikan (pembelajaran). Kebanyakan para guru di lapangan tidak melakukan kiprah utamanya secara tepat. Yang semestinya membuat siswa berguru malah sebaliknya gurunya yang sibuk belajar.

Hadirnya Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), PAKEM, PKP, Kurikullum KTSP dan yang gres kini kurikullum 2013 dan aneka macam macam kecenderungan-kecenderungan mutakhir dalam bidang pendidikan yang menekankan pada keterlibatan siswa masih banyak yang salah diterjemahkan oleh para penyelenggara pendidikan. Banyak guru yang mengartikannya sebagai acara diskusi kelompok, kerja kelompok dan kegiatan-kigiatan yang menekankan pada keaktifan siswa tanpa adanya keaktifan guru secara pribadi di dalamnya. Inilah kekeliruan lainya dalam lingkungan pendidikan khususnya acara pembelajaran. Semestinya disadari bahwa semakin tinggi keaktifan siswa menuntut tingginya keaktifan guru dalam mengaktifkan siswanya. Artinya anak didik tidak akan aktif secara baik jika gurunya tidak aktif, bukan hanya sekedar menunjukkan tema diskusi kemudian gurunya tinggal diam, mengurusi urusan lain, baca koran, ngobrol dengan sesama guru, pergi belanja di pasar, pergi makan bakso, dan acara lainya yang sama sekali tidak membantu pengembangan potensi anak didik.

Melalui keaktifan atau keterlibatan pribadi dalam proses pembelajaran terbuka aneka macam kesempatan untuk menghayati nilai-nilai yang perlu. Siswa sanggup mengalami kedisiplinan dalam perbuatan, berbicara, kemandirian, keyakinan, ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, penghargaan terhadap waktu, penghargaan terhadap kerja, kegairaan belajar, kedisiplinan, kesetiakawanan sosial, semangat kebangsaan, dan masih banyak yang lainya tergantung pada kompetensi guru yang membelajarkan siswa. Mari kita semua maju bersama dalam mencerdaskan anak bangsa dan semoga pendidikan kita bisa bangun dan jaya. (Bung Viktor)

*) Ditulis oleh Viktor Juru. Mahasiswa PGSD FIP UNM.

Pahlawan, Masihkah Ada?

7:17:00 PM
Momentum hari pendekar ini menjadi peneguh kepada kita semua untuk terus berbuat yang baik Pahlawan, Masihkah Ada?
Momentum hari pendekar ini menjadi peneguh kepada kita semua untuk terus berbuat yang baik terutama dalam membela kebenaran meskipun pahit.
Setiap tanggal 10 di bulan November, bangsa Indonesia memperingati hari pahlawan. Pertempuran di Surabaya pada tanggal yang sama di tahun 1945 itu menjadi penentu penetapannya oleh pemerintah. Arti pendekar berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ialah orang yang menonjol alasannya ialah keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Jika ditilik dari insiden sehingga ditetapkannya hari pendekar tersebut, maka pengertian yang cocok ialah bahwa pendekar ialah pejuang yang gagah berani. Lalu, kalau demikian masihkah ada pendekar dikala ini?

Hampir semua hari nasional yang diperingati, tetap memunyai objek pelaku dari hari tersebut. Hari guru misalnya, tentu diperingati dengan antusias oleh para guru. Hari ibu, oleh para ibu, hari santri yang gres saja ditetapkan oleh pemerintah tentu disambut besar hati oleh para santri. Bagaimana dengan hari pahlawan? Mungkin dikala ini masih ada para veteran yang mencicipi pribadi usaha bangsa ini melawan penjajah dahulu, tetapi bagaimana 10 tahun ke depan, dikala tidak ada lagi para veteran kemerdekaan tersebut.

Banyak yang berusaha menyetujui pengertian pendekar sebagai orang yang menonjol alasannya ialah keberanian dan pengorbanan membela kebenaran. Beberapa station TV pun menggelar perhelatan dalam mencari pahlawan-pahlawan yang berada di tengah-tengah masyarakat. Muncullah pendekar lingkungan, pendekar demokrasi, pendekar pembangunan, dan lain sebagainya. Ada pula profesi yang semenjak dulu digelari pendekar tanpa tanda jasa, yakni guru. Dulu, disaat guru masih memeroleh honor pas-pasan, kendaraan yang dipakainya hanya sepeda dengan jarak yang harus ditempuhnya cukup jauh, di sekolah menulis di papan tulis menggunakan kapur, tapi semangat tetap tinggi, dan menjadi pola siswanya dan masyarakat. Indikator tersebut yang penuh dengan penderitaan, tampaknya pas menerima julukan pendekar tanpa tanda jasa tadi. Tapi, bagaimana dengan sekarang? Disaat honor sudah tidak mengecewakan tinggi, kendaraan roda empat, spidol dan In Focus di kelas, tapi semangat sebagian dari guru rendah, dan sebagian tak lagi menjadi teladan. Apakah masih layak menerima predikat pendekar tanpa tanda jasa dengan indikator yang tak lagi ada penderitaan?

Sejatinya, pendekar harus selalu ada. Sejatinya semua kita harus menjadi pahlawan. Bukan pendekar hasil pilihan dan polling pemirsa TV, bukan pula pendekar hasil pencalonan seseorang, tetapi pendekar yang selalu rela berkorban demi kebenaran meski tanpa diketahui orang lain atau tanpa liputan media. Apapun dan siapapun kita, harus mengedepankan kebenaran, bahkan memperjuangkannya. Berat memang, namun itulah tantangan menjadi seorang pahlawan. Seperti halnya para pendekar kemerdekaan kita, tentu tak ada niat sedikitpun menginginkan gelar pendekar disematkan pada mereka. Niatnya cuma satu, merdeka atau mati. Bahkan, tentu jauh lebih banyak lagi pendekar tak dikenal yang rela mati demi kemerdekaan dibandingkan yang kita ketahui namanya dikala ini.

Baca juga: Guru Bekerja dalam Diam

Hari pendekar tetap harus diperingati bangsa ini, meskipun tak ada lagi para pejuang kemerdekaan kita yang hidup. Peringatan tak sekadar seremonial upacara belaka, tetapi harus menjadi cemeti buat kita yang masih unjuk kebolehan dalam kepongahan dan pencitraan. Jadilah pendekar pada setiap profesi yang kita geluti. Sebagai pemimpin harus menjadi teladan, membantu yang lemah dan tertindas, serta tidak angkuh. Guru harus sanggup digugu dan ditiru serta tetap istiqamah dan ikhlash dalam menjalankan tugas. Profesi yang lainnya tentu memunyai kriteria atau indikator sehingga dan menjadi berkinerja baik. Momentum hari pendekar ini tentu menjadi peneguh kepada kita semua untuk terus berbuat yang baik terutama dalam membela kebenaran meskipun pahit. Selamat Hari Pahlawan kepada semua pendekar yang dikenal maupun tidak, yang telah tiada maupun yang masih hidup, yang pendekar pejuang maupun pendekar kebenaran.

*) Ditulis oleh Muh. Syukur Salman. Guru SD 71 Parepare

Kesenjangan Pendidikan Di Indonesia

4:51:00 AM
Pendidikan di Indonesia belum merata dan menyeluruh Kesenjangan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia belum merata dan menyeluruh.
Sebagai pemerhati pendidikan bangsa, kami guru Indonesia yang tinggal di pedalaman Kalimantan beropini bahwa pendidikan di Indonesia belum merata dan menyeluruh. Hal ini sanggup kita amati perkembangan pendidikan di Indonesia potongan Tengah dan Timur. Di wilayah tersebut banyak anak usia sekolah yang terlantar dan tidak sekolah. Banyak sekolah yang gurunya hanya satu atau dua orang sedangkan kelas mencar ilmu ada 6 lokal. Memang sangat ironis kalau kita amati secara cermat ibaratnya tikus mati di lumbung padi.

Baca juga: Pendidikan Indonesia Ada di Peringkat ke-69

Negara Indonesia yaitu salah satu negara di dunia yang kaya akan sumber daya alam, tetapi kenyataanya anak bangsa dan rakyatnya masih banyak yang putus sekolah bahkan tidak sekolah. Sebagai materi perbandingan mari kita lirik sekolah- sekolah di perbatasan Kalimantan dan Irian Jaya. Kedua Pulau ini sungguh memperlihatkan bantuan kepada negara yakni sumber daya alamnya. Tapi dari segi pelayan pendidikan belum secara adil dirasakan penduduk dan anak bangsa yang menghuni kedua pulau ini. Kedua pulau ini juga kita rasakan hanya imbas dari para konglomerat bangsa yakni kemelaratan dan kebodohan.

Pada hal berdasarkan banyak sekali pandangan pakar sosiolog Metropolitan dan dunia pendidikan dalam obrolan diberbagai media elektronik mereka menyampaikan bahwa Bangsa yang maju yaitu bangsa yang sumber daya manusianya diperhatikan oleh Negara. Negara yang jaya yaitu Negara yang rakyatnya mengalami keadilan dan pemerataan dalam banyak sekali aspek kehidupan. Sedangkan rakyat yang sejahtera yaitu masyakat yang mengalami fasilitas dalam pelayanan dari Pemimpin bangsa. Dan bangsa yang kuat yaitu bangsa yang selalu memajukan forum pendidikan di Negaranya.

Dengan demikian maka tugas dunia pendidikan sangat penting untuk membuat kehidupan yang cerdas, tenang terbuka dan demokratis. Oleh sebab itu berdasarkan ekonomis kami sebagai guru pedalaman dan perbatasan beropini bahwa pembaharuan pendidikan harus dimulai dan dilakukan dari pendidikan lokal, nasional gres menuju Internasional. Dan kemajuan pendidikan suatu bangsa hanya sanggup dicapai melalui penataan sistem yang baik, terkoordinasi dan penilaian secara terus-menerus serta adanya pemerataan pelayanan pendidikan secara menyeluruh mulai dari tempat perkotaan hingga ke pelosok pedesaan, pedalaman dan perbatasan.

Aneh tapi nyata sebab di negara kita ini apa yang dirasakan dan alami kini tidak demikian. Guru masih bertumpuk di perkotaan. Bangunan bertingkat yang dirasakan hanya anak kota. Singkatnya pelayanan pendidikan kini masih bertumpuk di kota. Mengapa demikian ? Mengapa guru tidak betah untuk tinggal di pedesaan? Lagi-lagi pemerataan pelayanan dari semua aspek kehidupan belum merata dan menyeluruh.

Ketika penulis menyelusuri sekolah - sekolah di pedalaman Kalimantan khususnya di Propinsi Kalimantan Timur Kabupaten Berau penulis berjumpa dengan seorang teman guru yang betah dan tinggal menetap sebagai guru dan dokter di tempat itu. Bapak guru ini sunguh menghayati impian luhur bangsa Indonesia. Mungkin kita semua anak bangsa yang pernah sekolah, niscaya menghafal impian luhur itu. Tetapi kita belum bisa untuk mengejawantakan impian luhur itu. Tapi bapak guru yang mengajar di pedalaman ini sudah membuktikannya. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas dan terang menyatakan bahwa Tujuan awal bangsa Indonesia yaitu Mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai guru kami tidak pungkiri upaya Pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan Nasional. Saat ini system sudah terprogram secara baik dan teratur. Tapi kegiatan itu yang dikelolah baik oleh guru-guru perkotaan tapi bukan guru di pedesaan mirip Irian dan Kalimantan. Perjuangan Pemerintah untuk kesejahteran guru dan dosen sudah diperhatikan secara serius oleh Pemerintah. Tapi sekali lagi kami katakan belum merata dan menyeluruh. Mengapa demikian ? Gaji guru dan dosen naik tapi guru dan dosen sudah terlanjur banyak utang di Bank-Bank Pemerintah maupun swasta. Mengapa mereka berutang ? Karena honor guru di bawah tahun 2010 tidak cukup untuk ditabung.

Baca juga: Belum Banyak Guru yang Memiliki Jiwa Mendidik

Selain guru juga pelayanan pendidikan bagi anak bangsa belum menyentuh anak pinggiran, anak jalanan, anak kolong dan anak pedalaman yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Contohnya bangunan sekolah di kota bentuknya Permanen dan bertingkat sedangkan bangunan sekolah di pedesaan masih dari kayu dan bambu yang berlantai tanah. Dan apalagi ketika ini mulai berlomba-lomba membangun Rintisan Sekolah Berstandar Internasional ( RSBI ) atau Sekolah Berstandar Nasional ( SBN ). Apakah sudah merata ? Jika sudah merata mengapa masih banyak anak yang putus sekolah ? Sampai kapan Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas secara Nasional ?

Hemat kami Sistem Pendidikan Nasional harus secara utuh, menyeluruh dan sanggup menyentuh masyarakat kecil di pedesaan. Sehingga dengan demikian sanggup mengangkat harkat dan martabat insan Indonesia secara menyeluruh dan bukan hanya berpusat di tempat perkotaan saja.

Kalau diamati dan ditinjau secara baik, maka bersama-sama pendidikan ketika ini belum adil, menyeluruh dan merata secara Nasional. Hal ini sanggup dibuktikan dengan lulusan dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi yang masih mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dalam dunia kerja. Mengapa hingga terjadi demikian ? Itulah pelayanan pendidikan yang tidak merata dan menyeluruh.

Sebagai materi perbandingan dapatlah kita telusuri dari hasil test atau ujian baik ujian sekolah maupun ujian nasional. Menurut catatan Human Development Report Tahun 2003 versi UNDP dalam Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk,”peringkat HDI (Human Development Index) sumber daya insan berada dalam urutan 112. Menurut Third Matemathics and Sciense Study (TIMSS) melaporkan bahwa kemampuan matematika siswa Sekolah Menengah Pertama di Indonesia berada diurutan 34 dari 38 negara, sedangkan dalam bidang IPA berada dalam urutan 32 dari 38 negara yang disurvei” (hal-1). Untuk itu pembaharuan pendidikan merupakan tuntutan utama.

Pembaharuan pendidikan berdasarkan Depdiknas (2006) yang sering menerima sorotan yaitu “ Pembaharuan dalam bidang kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan metodologi pembelajaran, dalam rangka menuju tercapainya tujuan pembelajaran yaitu siswa mempunyai pengetahuan (logos), menghayati pengetahuan (etos) dan mengaktualisasi atau mengamalkan pengetahuannya (patos)” (hal-21).

Setiap akseptor didik yang mempunyai logos, etos dan patos yang sesuai dengan tuntutan zaman digolongkan sebagai akseptor didik yang mempunyai prestasi belajar. Karena Prestasi mencar ilmu hanya diperoleh dari motivasi dari setiap akseptor didik untuk menumbuhkan minat mencar ilmu yang harus ditumbuh kembangkan semenjak dari Pendidikan Dasar, sehingga akan tertanam dalam diri setiap akseptor didik. Berprestasi merupakan kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga terapan ilmunya akan bermanfaat dan dinikmati bagi orang banyak baik masyakat kota maupun masyakat pedesaan.

Menurut Depdiknas (2001 dijelaskan bahwa “Sebagian besar dari siswa tidak bisa menghubungkan antara apa yang mereka pelajari sebagai pengetahuan sanggup dipergunakan atau diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Peserta didik mengalami kesulitan memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa alami dan terima dalam pembelajaran yaitu memakai sesuatu ilmu yang abnormal dan ceramah. Sesungguhnya akseptor didik baik di desa maupun di kota harus dituntun untuk memahami konsep yang berafiliasi dengan dunia kerja dan lingkungan alam serta masyarakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja. Faktor internal yang sangat besar lengan berkuasa terhadap prestasi yaitu rendahnya motivasi atau minat mencar ilmu siswa untuk berprestasi “.

Faktor yang juga besar lengan berkuasa terhadap minat mencar ilmu siswa di sekolah yaitu lingkungan keluarga yang tidak menumbuhkan motivasi belajar. Motivasi mencar ilmu yang tinggi sungguh berkorelasi dengan hasil mencar ilmu yang baik, akan mensugesti peningkatkan minat mencar ilmu siswa di sekolah. Jika minat mencar ilmu siswa sanggup ditingkatkan, maka kualitas akseptor didik yang dibutuhkan akan terwujud dalam banyak sekali prestasi mencar ilmu siswa.

Strategi untuk meningkatkan motivasi mencar ilmu siswa sering menjadi kendala bagi para guru di sekolah sebab faktor internal maupun eksternal yang mensugesti minat mencar ilmu setiap akseptor didik.

*) Ditulis oleh Oleh : Yohanes Ruma S.Pd.SD, seorang guru yang ketika ini mengajar di SDN 002 Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur.