Showing posts with label Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan. Show all posts

Kkm, Un Dan Disorientasi Tujuan Pendidikan

7:31:00 PM
 dalam menggali potensi penerima didik menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidika KKM, UN dan Disorientasi Tujuan Pendidikan

Kelemahan guru dalam menggali potensi penerima didik menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di tanah air. Sebagian besar guru masih memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan kebutuhan, minat serta talenta yang dimiliki anak didiknya. Alih – alih berperan sebagai rumah kedua yang nyaman untuk dihuni, sekolah justru telah merampas kesempatan anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Itulah salah satu poin yang penulis tangkap ketika membaca Tajuk Rencana berjudul “Menyoal (Lagi) Pendidikan Kita” yang dimuat di harian umum Pikiran Rakyat edisi 09 Juli 2018. Tulisan tersebut seakan memposisikan guru sebagai “terdakwa” atas aneka macam kegagalan yang menyelimuti dunia pendidikan kita ketika ini. Namun, benarkah demikian ?

Dalam pandangan penulis, ada dua hal yang menimbulkan anak tidak bisa berbagi potensinya selama berada di sekolah. Pertama, pemberlakuan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Adanya kewajiban bagi setiap anak untuk meraih nilai minimal pada beberapa mata pelajaran yang belum tentu sesuai dengan minat dan talenta mereka menjadikan proses pembelajaran yang berlangsung selama bertahun – tahun tersebut dirasakan sebagai siksaan. Sekolah yang pada awalnya diperlukan berperan sebagai tempat untuk menggali potensi serta berbagi kemampuan anak justru terkesan menyerupai jeruji besi yang mengubur potensi dan membelenggu kreativitas anak. Kondisi semacam ini pada karenanya berdampak pada kurangnya motivasi anak untuk mengikuti proses pembelajaran.

Kedua, dipertahankannya Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu instrument untuk mengukur keberhasilan proses berguru maupun demi kepentingan pemetaan mutu pendidikan di setiap tempat menjadikan pembelajaran yang diselenggarakan lagi – lagi berorientasi pada nilai akademik. Adapun upaya pembentukan abjad serta pengembangan potensi anak sebagaimana yang diperlukan dalam setiap proses pembelajaran tidak mendapat porsi yang seharusnya. Akibatnya, upaya untuk membentuk generasi unggul berkarakter pun berjalan secara parsial. Anak acap kali dituntut untuk bisa menuntaskan soal – soal di atas kertas. Namun, kemampuan mereka untuk mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi jarang sekali diasah.

Baca: Sekolah Masa Depan dan Guru yang Dibutuhkan

Diberlakukannya KKM dan UN pada setiap jenjang pendidikan pada karenanya menempatkan guru pada posisi yang cukup sulit. Para guru sesungguhnya menyadari akan pentingnya pembentukan abjad anak serta memahami betul kewajibannya untuk membantu anak semoga bisa berkembang sesuai dengan potensinya. Namun, pemberlakuan KKM dan UN secara tidak pribadi telah mengubur potensi anak sekaligus membelenggu kreativitas guru dalam melahirkan generasi unggul berkarakter. Upaya penanaman nilai – nilai akal pekerti serta kecintaan anak terhadap dunia berguru pun harus terhenti akhir paradigma keliru dalam memandang keberhasilan proses pembelajaran.

Berdasarkan klarifikasi di atas, sanggup disimpulkan bahwa disorientasi tujuan pendidikan menyerupai yang terjadi ketika ini bukan semata – mata disebabkan oleh ketidakmampuan guru dalam menggali potensi anak, melainkan lebih disebabkan oleh hukum yang dibentuk oleh pemerintah sendiri. Pemberlakuan KKM serta penyelenggaraan UN yang semakin dipertanyakan kebermanfaatannya sejatinya telah membelenggu kreativitas guru sekaligus memaksa mereka untuk berlaku tidak jujur dengan memperlihatkan nilai yang tidak sesuai dengan kemampuan anak.

*) Ditulis oleh Ramdan Hamdani. Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial

Faktor Yang Memengaruhi Kualitas Pendidikan Nasional

9:01:00 PM
Faktor yang Memengaruhi Kualitas Pendidikan Nasional Faktor yang Memengaruhi Kualitas Pendidikan Nasional
Faktor dan permasalahan ini satu sama lain sangat terkait, saling memengaruhi, dan penangannya butuh keseriusan.
Kualitas pendidikan nasional masih sangat rendah, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini dikatakan oleh banyak pengamat pendidikan. Rendahnya kualitas tersebut, banyak faktor yang memengaruhinya.

Maswan, dosen Unisnu Jepara menulis di harian Suara Merdeka di antara faktor yang memengaruhi kualitas pendidikan nasional ialah faktor politik yang tidak kondusif, perkembangan ekonomi tidak stabil, konsep administrasi pendidikan belum terbangun secara profesional dan tersistem, perilaku mental bangsa yang malas mencar ilmu dan sejenisnya.

Menurutnya bila hubungannya dengan faktor-faktor tersebut dikaji dari sudut pandang administrasi pendidikan, kesudahannya memunculkan permasalahan pendidikan yang sanggup kita identifikasi.

Faktor dan permasalahan ini satu sama lain sangat terkait, saling memengaruhi, dan penangannya butuh keseriusan. Permasalahan pendidikan ini diibaratkan mirip benang kusut, sangat diperlukan kecerdasan, keterampilan dan ketekunan dalam mengurainya.

Baca: Kualitas Pendidikan Tak Naik Bukan Salah Guru

Permasalahan pendidikan yang sangat mencuat dan ini yang memengaruhi rendahnya mutu pendidikan nasional, yaitu mutu sumber daya insan (SDM), sarana prasarana yang sangat kurang, pembiayaan pendidikan yang minim, isi kurikulum yang tidak terang arahnya, persoalan pemerataan pendidikan dan sejenisnya.

Berbagai faktor dan permasalahan pendidikan tersebut yang belum sanggup teratasi mengakibatkan mutu pendidikan Indonesia menjadi sangat rendah. Ini terlihat dari ranking pendidikan Indonesia berada di level bawah dalam Program for International Studies Assessment (PISA) 2015. Indonesia berada di ranking ke-72, jauh di bawah Vietnam yang menempati rangking ke-8.

Tak Ada Pr Di Finlandia Mitos Yang Telanjur Populer

3:20:00 PM
Di Finlandia para guru memperlihatkan PR yang tidak berat.
Selama ini masyarakat Indonesia cukup banyak membaca dan melihat gosip mengenai nyamannya bersekolah di Finlandia. Begitu banyak ulasan di Facebook atau Youtube mengenai Finlandia. Beberapa dari kita mungkin juga penasaran, apakah benar di sana murid-murid tidak diberi PR?

Tak heran, banyak yang ingin tau perihal pendidikan di negara kecil dengan jumlah total penduduk tak lebih dari 6 juta orang tersebut. Siswa-siswa Finlandia selalu memperoleh peringkat atas pada tes PISA atau Programme for International Student Assessment.

Timothy D. Walker, dalam buku terbarunya Teach Like Finland atau Mengajar ibarat Finlandia menyampaikan itu yaitu mitos yang telanjur populer. Menurut Tim, itu tidak benar, para siswa tetap mendapat PR, namun diberikan dengan sangat memperhitungkan tingkat kesulitannya.

Seperti yang lansir dari Kompas (26/01/18), para guru memperlihatkan PR yang tidak berat, bahkan rata-rata sanggup dikerjakan dalam waktu 30 menit saja. Intinya, mereka ingin para siswa benar-benar mendapat istirahat yang cukup sepulang sekolah, dan sanggup melanjutkan kegiatan yang lain.

Sekolah dan masyarakat Finlandia bekerja sama untuk mengupayakan siswa-siswa yang mandiri. Percayalah, Anda akan terkaget-kaget melihat siswa SD yang pergi-pulang sekolah sendirian, naik bus atau kereta. Dari semangat sanggup bangun diatas kaki sendiri itulah para siswa terbiasa untuk berpikir dengan cermat, bahkan menembus batasannya.

Tim menggarisbawahi bahwa esensi pendidikan yang sewajarnya berjalan seiring dengan prinsip universal hidup bagi masing-masing orang. Kebahagiaan diberi daerah yang utama dalam kurikulum di Finlandia. Sistem pendidikan yang membahagiakan menjadi fokusnya. Anak yang besar hati mempelajari banyak hal dengan enteng.

Orang Indonesia tentu sering mendengar banyak orang renta atau guru yang "memaksa" anak untuk bisa menguasai banyak hal di luar kemampuannya. Anak-anak pun bekerja dengan tanpa henti, berguru dengan tergesa-gesa. Akibatnya pendidikan berjalan dengan terpaksa alasannya yaitu lebih ibarat sebuah siksaan. Pendidikan menjadi tidak menyenangkan.

Pendidikan Di Indonesia Alami Krisis Kecerdasan Emosional

7:00:00 PM
Sekolah ketika ini cenderung hanya mengajarkan hal-hal yang sangat standar terkait pendidikan.
Saat ini dunia pendidikan di Indonesia mengalami krisis kecerdasan emosional. Hal ini dikatakan Pemerhati sektor pendidikan dari forum Wiratama Institute, Rahmawati Habie. Menurutnya kalau pengembangan kecerdasan emosional dilakukan dengan benar, maka hal tersebut sanggup membantu dan meningkatkan proses pembelajaran.

"Siswa yang mempunyai kecerdasan emosi stabil, bisa mengendalikan amarah dan sanggup memecahkan duduk masalah antarpribadi sehingga secara signifikan sanggup memengaruhi prestasi berguru pada setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah," kata Rahmawati yang Sekolahdasar.Net kutip dari Republika (07/10/17).

Senada dengan Rahmawati Habie, berdasarkan Pengamat Kebijakan Publik bidang Sosial Masyarakat dari Universitas Indonesia, Sri Handiman Supyansuri, sekarang banyak kalangan cukup umur yang mengalami krisis pengendalian diri. Hal itu terjadi akhir minimnya pembelajaran wacana kecerdasan emosional yang diajarkan di sekolah.

Sekolah ketika ini cenderung hanya mengajarkan hal-hal yang sangat standar terkait pendidikan, sehingga menyulitkan siswa untuk melihat serta berguru wacana pengendalian diri. Di sisi lain, banyak keluarga yang abai terhadap pendidikan emosional anak-anaknya sehingga tidak ada figur yang bisa menjadi pola bagi anak.

"Masalah kecerdasan emosional sanggup dipelajari dari orangtua sendiri. Bukan dari kecanggihan teknologi. Justru tanpa didikan orangtua secara langsung, maka akomodasi teknologi hanya akan merugikan pertumbuhan kecerdasan emosional anak," kata Handiman.

Peran Orangtua Dalam Proses Pendidikan Anak

1:13:00 AM
Peran Orangtua Dalam Proses Pendidikan Anak Peran Orangtua Dalam Proses Pendidikan Anak
Orangtua harus ikut berperan dalam proses pendidikan anak.
Orangtua murid diminta ikut aktif dalam jadwal sekolah demi mewujudkan pendidikan yang ramah bagi anak. Jelang tahun pedoman gres yang dimulai 17 Juli 2017, orangtua harus ikut berperan dalam proses pendidikan anak.

"Tentu, harus ikut berperan dalam proses pendidikan anak melalui Komite Sekolah. Bangun komunikasi yang dekat antara lingkungan keluarga sekolah dan masyarakat," kata Asrorun Ni'am yang kutip dari Okezone (15/07/17).

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini mencontohkan, orangtua sanggup saling bertukar nomor telefon dengan guru di sekolah dan sesama wali murid. Dengan demikian orangtua akan sanggup saling menyebarkan informasi.

Dia menyampaikan orangtua yang mempunyai anak usia sekolah harus menjamin dan memastikan anak-anaknya memperoleh hak pendidikan. Selain itu, orangtua juga harus memperlihatkan bimbingan kepada anak untuk memilih sekolah yang baik dan sesuai bagi anak.

"Pastikan akomodasi penunjang bagi pemenuhan hak anak terpenuhi, ialah hak untuk beribadah sesuai agama anak, hak bermain dan berolahraga, hak untuk kesehatan, jajanan sehat dan pola interaksi antar komponen masyarakat," terperinci Ni'am.

Reorientasi Pendidikan Dasar

4:32:00 PM
benar berorientasi pada pembentukan huruf akseptor didik Reorientasi Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar yang benar-benar berorientasi pada pembentukan huruf akseptor didik.
Pemerintah kawasan harus konsisten dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2014 – 2019, terutama dengan merevitalisasi pendidikan dasar dan pendidikan vokasi. Kedua jenjang pendidikan tersebut menjadi modal utama bagi pemerintah dalam upaya melahirkan generasi unggul berkarakter. Adapun untuk menyukseskan aktivitas besar itu, ekspansi kanal pendidikan dasar dan menengah menjadi sebuah keniscayaan. Selain itu pembenahan distribusi serta perbaikan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan pun perlu dilakukan sesegera mungkin. Hal itu diungkapkan oleh Mendikbud Muhajjir Effendy di kantor Kemendikbud beberapa waktu kemudian (“Pikiran Rakyat”, 24/05/2017).

Pernyataan Mendikbud di atas seakan mengingatkan kita akan pesan yang pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dikala bertemu dengan para mahasiswa Indonesia di Belanda sekitar setahun yang lalu. Saat itu Presiden mengusulkan supaya 60 hingga dengan 70 persen bahan pelajaran di SD (SD) diarahkan pada pembangunan huruf akseptor didik. Pembentukan huruf yang dilakukan semenjak dini diyakini akan bisa merubah mental bangsa ini menjadi lebih baik.

Apa yang disampaikan oleh Presiden maupun Mendikbud tersebut bekerjsama bukan hal yang baru. Sejak Ujian Nasional (UN) untuk tingkat SD dihapuskan, orientasi pembelajaran pun (seharusnya) mengalami pergeseran. Dalam hal ini membiasakan siswa untuk senantiasa melaksanakan perbuatan baik serta menanamkan kecintaan mereka terhadap dunia berguru seharusnya lebih dikedepankan daripada memaksa mereka untuk menguasai seluruh bahan yang tercantum dalam kurikulum.

Namun, pergeseran orientasi pembelajaran tersebut nampaknya akan sulit diimplementasikan. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi oleh sekolah dalam upaya merealisasikan pendidikan huruf sesuai amanat presiden tersebut. Pertama, keberpihakan kurikulum. Pemberlakuan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) untuk tiap mata pelajaran secara tidak pribadi telah menyempitkan makna maupun tujuan pendidikan yang sebenarnya, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Anak dianggap berhasil mencapai ketuntasan berguru apabila mereka bisa mengerjakan soal-soal di atas kertas. Sedangkan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepribadian menyerupai ketaatan mereka dalam beribadah maupun pengamalan norma-norma sosial justru tidak mendapatkan porsi yang semestinya. Kedua, kesiapan sekolah lanjutan. Kenyataan menunjukkan, nilai akademik masih dijadikan pertimbangan utama oleh sekolah-sekolah lanjutan (SMP) untuk mendapatkan calon siswa gres dari Sekolah Dasar. Adapun huruf maupun sikap siswa kurang begitu mendapatkan perhatian. Akibatnya, tujuan pembelajaran di SD pun lagi-lagi sebatas untuk mendapatkan nilai akademik setinggi-tingginya demi mendapatkan dingklik di sekolah lanjutan (unggulan).

Ketiga, partisipasi orangtua. Rendahnya tingkat partisipasi orangtua menjadi dilema tersendiri dalam upaya melahirkan generasi unggul berkarakter. Gaya hidup masyarakat “modern” dimana tidak hanya ayah yang bekerja di luar rumah, mengakibatkan proses pendidikan pun berjalan secara parsial.

Untuk sanggup mengimplementasikan pendidikan huruf di Sekolah Dasar, dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah, sekolah dan orangtua. Sebagai pemegang regulasi pemerintah diharapkan bisa memainkan kiprahnya dalam merancang sebuah kurikulum pendidikan dasar yang benar-benar berorientasi pada pembentukan huruf akseptor didik. Selain itu hukum yang diberlakukan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sekolah Menengah Pertama pun hendaknya memperhatikan huruf ataupun sikap akseptor didik pada jenjang sebelumnya.

Adapun orangtua hendaknya menyadari betapa pentingnya tugas mereka dalam melanjutkan pendidikan huruf yang dilakukan oleh guru di sekolah. Menciptakan lingkungan aman yang mendukung tumbuhnya huruf anak merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan demikian, pendidikan huruf di SD pun benar-benar sanggup terealisasi dan tidak hanya sebatas wacana.

*) Ditulis oleh Ramdan Hamdani, S.Pd