Guru yang berjihad, ditulis oleh Puryanto. Seorang Widyaiswara di BDK jakarta |
Dari hasil kunjungan penulis ke tempat Maluku utara dalam kunjungan memperlihatkan pendidikan di wilayah kerja, kebetulan daerahnya ialah sebuah pulau yang ditempuh satu jam perjalanan maritim dengan memakai bahtera kayu yang dapat menciptakan sekitar 20 orang. Kunjungan ini terjadi pada beberapa tahun yang lalu, yaitu kami ditempatkan di pulau Moti , salah satu pulau yang bila dari pulau Ternate pulau ini Nampak jelas, yang mana lebih banyak didominasi penumpangnya ialah para guru yang nantinya akan berikan pembinaan yang rata-rata ialah para ibu guru. Kami berlayar mulai pagi hari sehabis melakukan shalat shubuh.
Di urutan paling depan Nampak seorang pengemudi maritim duduk dengan perkasanya, yang akan membawa kami menuju tujuan pulau Moti. Pas sekitar pukul setengah enam,mulailah mesin motor maritim itu dinyalakan dan dipanaskan, sehabis itu mesin bahtera itu mulai melaju dengan cepat membawa para penumpangnya. Saat itu ombak dapat dikatakan cukup bergelombang dan kami dalam berahu hanya dapat mencicipi terpaan ombak demi ombak menerjang bahtera kayu yang penuh penumpangnya. Perahu itu yang saya ingat tidak begitu besar, lebar bahtera itu dapat diisi cukup oleh 4 orang saja, duduk berjejer sehingga bila ada sekitar 7 baris di kali dua maka jumlah penumpang itu diperkirakan sekitar 28 orang saja.
Di samping kami ada seorang guru perempuan yang sempat kami intograsi pengalaman ia selama menjadi guru di wilayah Maluku utara. Selama perjalanan kami ngobrol menceritakan usaha para guru yang didominasi para perempuan itu,mengatakan kepada penulis perjalanan maritim ini merupakan perjalan keseharian melintas memakai bahtera kecil yang tidak dilengkapi dengan pelampung. Dan para ibu guru itu Nampak tegang di ketika bahtera mulai meleok-leok dan terombang ambing oleh terpaan ombak di luar.
Satu jam berikut sampailah kami di tepian pesisir pulau moti ,pulau kecil yang begitu indah dengan warna air maritim yang begitu jernih dan bersih, bebas dari sampah sampah dengan pasir dan bebatuan pantai yang begitu indah menghiasi dermaga pulau moti yang terbuat dari kayu yang membentuk jempatan kayu yang menghubungkan bahtera dengan pelabuhan kecil itu. Boleh dikatakan pelabuhan kecil dan darurat.
Dari hasil introgasi dari salah satu guru yang menyampaikan bahwa perjalan maritim itu merupakan perjalanan utama bagi para guru yang ada di seputaran kepulauan Maluku utara,dimana satu kali berlayar sebesar lima puluh ribuan, jadi jika pulang pergi guru tersebut harus merogoh kocek sebesar seratus ribu setiap harinya.
Penulis menanyakan kepada guru tersebut, ” Mengapa ibu tetap ingin jadi guru walau setiap hari harus keluar uang seratus ribu untuk membayar perjalanan dengan bahtera ini bu” kata beliau, “ saya merasa terpanggil untuk menjalankan semuanya ini pak demi anak bimbing walau honor saya habis oleh ongkos naik bahtera ini pak”, “Kesian juga yah bu! ,” apa ada perhatian dari pemerintah setempat untuk membantu para guru yang mengabdi khususnya para guru yang lokasi kerjanya melintas maritim dan antar pulau?. Tidak ada pak! “Yah supaya saja bapak dapat memberikan pesan ini kepada petinggi di Jakarta untuk memperjuangkan kami di daerah”.
Baca: Jangan Menjadi Guru Kalau Hanya Ingin Uangnya
“Ya insyaalloh, bila saya nanti di Jakarta bunyi hati ibu, saya akan sampaikan kepada para petinggi di kementerian agama untuk memperlihatkan tunjangan khususnya para guru yang lokasi kerjanya jauh dan harus melintas lautan, supaya yah bu!.
Demikianlah hasil usaha dari pembicaraan kami selaku pegawai tempat di tempat terpencil yang begitu penuh dengan pengorbanan dan butuh mental yang besar lengan berkuasa dalam menghadapi semuanya ini demi anak bangsa dan masa depan Negara Indonesia tercinta.
*) Tulisan ini dikirim ke oleh Puryanto SS