Menteri Pendidikan merevisi istilah yang pernah dilontarkannya sebelumnya yakni full day school menjadi penguatan pendidikan aksara (PPK). Kita tidak tahu kenapa istilahnya berubah sebelum kebijakan itu dilaksanakan. Apa memang full day school tidak cukup seksi untuk dijual atau sebab banyaknya pro kontra yang terjadi selama ini.
Secara substansi istilah penguatan pendidikan aksara lebih dapat diterima dan punya nilai substantif yang tinggi dibandikan istilah full day school. Dari istilahnya saja sudah mencerminkan substansinya. PPK substansinya ialah pada penguatan karakternya, sedangkan FDS substansinya pada waktu yang dihabiskan penerima didik disekolah.
Mungkin sebab aneka macam masukan dari banyak pihak akan substansi tersebut, maka istilah full day school diganti menteri menjadi pendidikan penguatan karakter.
Penulis lebih suka dengan istilah penguatan pendidikan aksara dibandingkan full day school. Tinggal menyerupai apa konsep, materi dan implementasinya disekolah. Tentu itu yang akan kita tunggu.
Namun, hal fundamental yang berdasarkan penulis sangat penting dalam upaya implementasi penguatan pendidikan karakter ini ialah sosok sang guru. Kenapa guru? Karena guru yang akan menjadi role model pendidikan karakter. Guru harus dapat menjadi teladan. Guru sebagai pendidik, bukan pengajar semata. Guru harus terlebih dulu menjadi sosok yang berkharakter. Disamping orang renta juga harus menjadi orang renta yang berkarakter. Karena pendidikan aksara melibatkan tiga pihak sekaligus; orang tua, guru dan masyarakat.
Konsep pendidikan aksara sesungguhnya ialah konsep pendidikan keteladanan. Seperti apa penerima didik yang diinginkan, maka menyerupai itu seharusnya guru yang mengajar. Untuk menanamkan konsep kejujuran contohnya kepada anak, maka harus diajarkan dan diberikan oleh guru yang mempunyai kejujuran dalam dirinya. Sekali lagi sebab pendidikan aksara itu ialah pendidikan keteladanan. Begitu seterusnya dengan nilai-nilai aksara lain menyerupai tanggung jawab, disiplin, sopan santun, kasih sayang, mandiri, terampil dan sebagainya.
Ketika guru menginginkan penerima didik menjaga sholatnya, maka tentu saja sang guru harus terlebih dahulu menjadi orang yang pertama menyambut panggilan azan saat waktu sholat sudah masuk. Ibaratnya menyerupai memandikan kuda. Jangan harap siswa akan menjaga sholatnya saat melihat gurunya saat waktu sholat sudah masuk masih asyik dengan pekerjaannya.
Begitulah konsep keteladanan. Menyampaikan apa yang sudah dilakukan, melaksanakan apa yang sudah disampaikan. Seirama antara perkataan dan perbuatan. Memberikan referensi terlebih dahulu kepada penerima didik sebelum menyuruh mereka melakukannya. Itulah inti pendidikan karakter.
Tentu saja menjadi pekerjaan besar bagi kita semua sebelum konsep pendidikan penguatan aksara ini digulirkan disekolah kepada seluruh penerima didik, maka memastikan bahwa guru yang akan menjadi role model penguatan aksara tersebut sudah siap dilapangan. Kenapa begitu? Karena begitu jadwal ini digulirkan maka pihak yang harus siap pertama kali ialah gurunya bukan siswanya. Siswa pertama kali tentu hanya akan menjadi objek, mencontoh, meniru, menteladani gurunya.
Disinilah pendidikan kita diuji selama ini. Bukan tidak ada konten pendidikan aksara yang diajarkan kepada penerima didik. Pendidikan aksara bukan hanya hari ini adanya. Undang-undang wacana sistem pendidikan nasional sesungguhnya sudah mengamanahkan wacana pendidikan karakter. Dimana tujuan pendidikan nasional ialah membuat penerima didik yang beriman, bertaqwa, mandiri, cakap dan bertanggung jawab sesungguhnya ialah inti dari pendidikan karakter.
Persoalannya bukan sebab belum ada dan kini gres digulirkan. Tetapi lebih kepada konsep keteladanan yang belum menjadi inti (ruh) dari pendidikan aksara selama ini. Peserta didik hanya dibebankan dengan materi dan kurikulum tetapi tidak menyentuh kepada aspek karakternya. Karakter tidak dapat dihafal penerima didik tetapi harus ditransfer dan ditularkan oleh gurunya. Prosesnya panjang dan berkesinambungan. Waktunya sepanjang hari tidak dibatasi oleh jam-jam pelajaran dikelas. Bahkan hingga kerumah dan saat berada dimasyarakat. Hadirnya sosok guru sebagai pendidik, bukan guru sebagai pentransfer ilmu semata menjadi keharusan.
Bagaimana penguatan pendidikan aksara yang diinginkan? Dimulai dengan keteladanan dan pembiasaan. Formatnya disekolah mulai dari adaptasi salam, sapa, senyum semenjak tiba ke sekolah dipagi hari hingga pulang di sore harinya. Pembiasaan ibadah menyerupai sholat berjama’ah di masjid, sholat duha bersama, acara puasa sunnah setiap senin dan kamis, membaca alqur’an sebelum pelajaran dimulai setiap hari, kantin jujur, infaq dan gotong royong. Pembiasaan ini harus menjadi jadwal harian menjadi sebuah kebiasaan bagi seluruh stakeholder di sekolah, mulai dari penjaga sekolah, petugas kebersihan, tenaga kependidikan hingga kepada guru dan kepala sekolah.
Semoga penguatan pendidikan aksara yang diinginkan pemerintah sama dengan apa yang menjadi obsesi penulis diatas. Bukan sekedar penambahan jam pelajaran agama dan budaya disekolah. Bukan sekedar menambah waktu lamanya anak berada disekolah. Kalau hanya sekedar itu yang terjadi tanpa dilandasi oleh konsep keteladanan yang kokoh, maka penguatan pendidikan aksara secara substansi akan kehilangan maknanya dan hanya berganti istilah yang bahwasanya ialah penambahan waktu yang lebih usang disekolah (full day school). Wallahu’alam bissawab.
*) Ditulis oleh Iqbal Anas, S.Pd. Kepala Sekolah SDIT Ma’arif Padang Panjang