Pendidikan dasar yang benar-benar berorientasi pada pembentukan huruf akseptor didik. |
Pernyataan Mendikbud di atas seakan mengingatkan kita akan pesan yang pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dikala bertemu dengan para mahasiswa Indonesia di Belanda sekitar setahun yang lalu. Saat itu Presiden mengusulkan supaya 60 hingga dengan 70 persen bahan pelajaran di SD (SD) diarahkan pada pembangunan huruf akseptor didik. Pembentukan huruf yang dilakukan semenjak dini diyakini akan bisa merubah mental bangsa ini menjadi lebih baik.
Apa yang disampaikan oleh Presiden maupun Mendikbud tersebut bekerjsama bukan hal yang baru. Sejak Ujian Nasional (UN) untuk tingkat SD dihapuskan, orientasi pembelajaran pun (seharusnya) mengalami pergeseran. Dalam hal ini membiasakan siswa untuk senantiasa melaksanakan perbuatan baik serta menanamkan kecintaan mereka terhadap dunia berguru seharusnya lebih dikedepankan daripada memaksa mereka untuk menguasai seluruh bahan yang tercantum dalam kurikulum.
Namun, pergeseran orientasi pembelajaran tersebut nampaknya akan sulit diimplementasikan. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi oleh sekolah dalam upaya merealisasikan pendidikan huruf sesuai amanat presiden tersebut. Pertama, keberpihakan kurikulum. Pemberlakuan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) untuk tiap mata pelajaran secara tidak pribadi telah menyempitkan makna maupun tujuan pendidikan yang sebenarnya, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Anak dianggap berhasil mencapai ketuntasan berguru apabila mereka bisa mengerjakan soal-soal di atas kertas. Sedangkan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepribadian menyerupai ketaatan mereka dalam beribadah maupun pengamalan norma-norma sosial justru tidak mendapatkan porsi yang semestinya. Kedua, kesiapan sekolah lanjutan. Kenyataan menunjukkan, nilai akademik masih dijadikan pertimbangan utama oleh sekolah-sekolah lanjutan (SMP) untuk mendapatkan calon siswa gres dari Sekolah Dasar. Adapun huruf maupun sikap siswa kurang begitu mendapatkan perhatian. Akibatnya, tujuan pembelajaran di SD pun lagi-lagi sebatas untuk mendapatkan nilai akademik setinggi-tingginya demi mendapatkan dingklik di sekolah lanjutan (unggulan).
Ketiga, partisipasi orangtua. Rendahnya tingkat partisipasi orangtua menjadi dilema tersendiri dalam upaya melahirkan generasi unggul berkarakter. Gaya hidup masyarakat “modern” dimana tidak hanya ayah yang bekerja di luar rumah, mengakibatkan proses pendidikan pun berjalan secara parsial.
Untuk sanggup mengimplementasikan pendidikan huruf di Sekolah Dasar, dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah, sekolah dan orangtua. Sebagai pemegang regulasi pemerintah diharapkan bisa memainkan kiprahnya dalam merancang sebuah kurikulum pendidikan dasar yang benar-benar berorientasi pada pembentukan huruf akseptor didik. Selain itu hukum yang diberlakukan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sekolah Menengah Pertama pun hendaknya memperhatikan huruf ataupun sikap akseptor didik pada jenjang sebelumnya.
Adapun orangtua hendaknya menyadari betapa pentingnya tugas mereka dalam melanjutkan pendidikan huruf yang dilakukan oleh guru di sekolah. Menciptakan lingkungan aman yang mendukung tumbuhnya huruf anak merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan demikian, pendidikan huruf di SD pun benar-benar sanggup terealisasi dan tidak hanya sebatas wacana.
*) Ditulis oleh Ramdan Hamdani, S.Pd