Membela negara tak selalu identik dengan berseragam loreng, mengangkat senjata dan bertempur. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan salah satu bentuk dari bela negara. Selain itu berperilaku santun dan berbudaya juga sanggup dikategorikan sebagai sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai patriotisme. Hal itu diungkapkan oleh anggota dewan perwakilan rakyat Dedi Gumilar alias Miing dikala memperlihatkan pembekalan pada Kongres Himpunan Sekolah Asrama Indonesia di SMAT Krida Nusantara beberapa waktu kemudian (PR, “08/05/2017”). Menurutnya, budaya tidak selalu berarti kesenian, namun juga cara berpikir seseorang dalam memandang sebuah persoalan.
Apa yang disampaikan oleh mantan pelawak tersebut memang bukan tanpa alasan. Degradasi moral di kalangan dewasa merupakan problem utama yang dikala ini dihadapi oleh bangsa yang telah lebih dai 71 tahun merayakan kemerdekaannya tersebut. Berdasarkan laporan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), aneka macam problem menyerupai seks bebas, alkohol dan Narkoba kerap kali mengintai para dewasa yang sedang dalam proses tumbuh kembang itu. Selain itu ujaran kebencian (di media sosial) pun nampaknya semakin sulit dijauhkan dari dewasa yang juga dikenal sebagai generasi digital (digital native) ini. Berbagai permasalahan tersebut muncul seiring dengan masa transisi yang dialaminya.
Beragam upaya tolong-menolong telah dilakukan oleh pemerintah melalui pihak sekolah untuk mendorong dewasa biar berperilaku positif. Sejak tahun 2015 kemudian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan sebuah jadwal yang diberi nama Program Penumbuhan Budi Pekerti (PPBP). Program yang berorientasi pada pembentukan huruf siswa tersebut diperlukan bisa mengatasi permasalahan degradasi moral serta lunturnya rasa cinta tanah air (nasionalisme) yang dikala ini tengah menjangkiti generasi muda kita. Dalam hal ini sekolah berperan sebagai ujung tombak dalam upaya menghidupkan kembali semangat kebhinekaan serta menanamkan pendidikan huruf kepada penerima didiknya.
Baca: Menanamkan Budaya Daerah Pada Anak Sekolah Dasar
Adapun bentuk kegiatan wajib untuk menunjang jadwal tersebut antara lain pelaksanaan upacara bendera pada hari senin, menyanyikan lagu Indonesia Raya dikala hendak memulai pelajaran, serta membiasakan membaca buku selama 15 menit setiap hari. Selain itu menanamkan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pun menjadi bab tak terpisahkan dari upaya pembentukan karakater siswa. Melalui aneka macam kegiatan tersebut, diperlukan akan lahir siswa-siswa yang mempunyai kecerdikan pekerti luhur sehingga mereka bisa menjadi bab dari solusi atas aneka macam problem yang ada di masyarakat.
Sayangnya, jadwal yang digadang-gadang bisa melahirkan generasi unggul berkarakter tersebut nyaris tak terdengar lagi. Pergantian pucuk pimpinan di tingkat Kementerian nyatanya kuat terhadap program-program yang tengah dijalankan. Alih-alih melanjutkan jadwal yang ada, pimpinan yang gres justru memberlakukan kebijakan gres yang juga tidak dijamin keberlangsungannya di masa yang akan datang.
Di tengah ketidakmampuan pemerintah dalam membuat lingkungan bagi tumbuh kembangnya insan-insan yang berbudaya, peran guru sebagai garda terdepan dalam upaya pembentukan huruf anak menjadi sebuah keniscayaan. Guru diperlukan bisa memposisikan dirinya sebagai “penunjuk jalan” atau kompas moral bagi anak didiknya dalam berperilaku. Datang ke sekolah sempurna waktu, senantiasa berbicara dengan bahasa yang baik dan benar serta tidak merokok di lingkungan sekolah merupakan sikap yang harus ditunjukkan oleh guru di hadapan murid-muridnya. Selain itu berupaya meningkatkan kompetensinya melalui bacaan-bacaan yang sesuai dengan bidangnya juga perlu dilakukan oleh guru dalam rangka menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan serta memahami perbedaan huruf penerima didik. Dengan demikian, keinginan akan lahirnya generasi yang pintar dan berakhlak mulia pun sanggup benar-benar terwujud.
*) Ditulis oleh Ramdan Hamdani. Guru SDIT Alamy Subang, Jawa Barat.