Budaya Sekolah, Diam-Diam Di Balik Integritas Seorang Penerima Didik

7:34:00 PM
Keberhasilan pengembangan budaya sekolah menjadi penentu keberhasilan meningkatkan lulusan yang bermutu.
Sebut saja dua sekolah. Sekolah A dan B. Keduanya mempunyai sumber keuangan yang sama besar, namun penampilan fisik dan prestasinya berbeda. Kenapa? Jawabannya tentu tidak sesederhana menyerupai “Dikarenakan begini” atau “Dikarenakan begitu”. Namun jauh di atas semua kemudahan dan keuangan sebagai penopang kehidupan di sekolah, ada satu faktor yang sangat berpengaruh: budaya sekolah. Apa maksudnya budaya sekolah?

Istilah “ budaya “ mula-mula tiba dari disiplin ilmu Antropologi Sosial. Apa yang tercakup dalam definisi sangatlah luas. Istilah budaya sanggup diartikan sebagai totalitas contoh perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran insan yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:149) mendefinisikan budaya dalam dua pandangan, pertama hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) insan menyerupai kepercayaan , kesenian, dan susila istiadat ; kedua memakai pendekatan antropologi, yaitu keseluruhan pengetahuan insan sebagai makhluk sosial yang dipakai untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah laku.

Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya menyamakan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal ini, tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari sikap sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut.

Koentjaraningrat (1987) mengartikan budaya sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya insan dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliknya melalui belajar. Sedangkan Tylor mengartikan budaya sebagai suatu kesatuan yang unik dan bukan jumlah dari bagian-bagian suatu kemampuan kreasi insan yang immaterial, berbentuk kemampuan psikologis, menyerupai ilmu pengetahuan, teknologi, kepercayaan, keyakinan, seni dan sebagainya.

Agar budaya tersebut menjadi nilai-nilai yang tahan lama, maka harus ada proses internalisasi budaya. Dalam bahasa Inggris, Internalized berarti to incorporate in oneself. Makara internalisiasi berarti proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bab diri (self) orang yang bersangkutan.
Penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut dilakukan melalui aneka macam didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi dan lain sebagainya.

Koentjaraningrat, menyebutkan bahwa budaya itu paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai : (1) suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma ; (2) suatu kompleks kegiatan kelakuan dari insan dalam masyarakat ; dan (3) sebagai benda-benda karya manusia. Tiga wujud budaya di atas, dalam konteks organisasi disebut dengan budaya organisasi (organizational culture). Dalam konteks perusahaan, diistilahkan dengan budaya perusahaan (corporate culture), dan pada forum pendidikan/sekolah disebut dengan budaya sekolah (school culture).

Dari beberapa pengertian perihal budaya diatas, sanggup disimpulkan bahwa budaya sekolah ialah nilai-nilai mayoritas yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan.

Bila dihubungkan kepentingan sekolah, maka budaya sekolah merupakan pengetahuan dan hasil karya cipta komunitas sekolah yang berusaha ditransformasikan kepada akseptor didik, dan dijadikan pedoman dalam setiap tindakan komunitas sekolah. Pengetahuan dimaksud terwujud dalam setiap sikap dan sikap positif komunitas sekolah, sehingga mencerminkan warna kehidupan sekolah yang bisa dijadikan cermin bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.

Contoh sederhananya ialah kebiasaan murid mencium tangan guru dan rutinitas shalat Dhuha, senam/olahraga dan melaksanakan kebersihan pada setiap hari Jumat di sekolah. Bisa jadi bagi sebagian orang, kegiatan ini terlalu berat, namun jikalau sudah menjadi sebuah rutinitas, maka inilah budaya yang menempel di lingkungan sekolah tersebut.

Budaya sekolah; Visi Besar Kepala Sekolah

Walau bagaimanapun budaya sekolah merupakan cerminan dari etos kerja, prinsip, dan visi besar dari kepala sekolah.

Belum semua sekolah memahami pentingnya budaya sekolah. Hal ini terlihat pada fakta bahwa belum semua sekolah mempunyai acara pengembangannya. Kondisi ini terjadi alasannya sebagian kepala sekolah belum memahami dan terampil dalam merencanakan, melaksanakan pengembangan, dan mengukur efektivitas pengembangan budaya sekolah. Hal itu tidak berarti kepala sekolah tidak memperhatikan pengembangannya.

Baca juga: Kepala Sekolah; Manager and Leader

Pada kenyataannya banyak kepala sekolah yang sangat memperhatian akan pentingnya membangun suasana sekolah, suasana kelas, membangun kekerabatan yang serasi untuk terbentuknya norma, keyakinan, sikap, karakter, dan motif berprestasi sehingga tumbuh menjadi sikap berpikir warga sekolah yang positif. Hanya saja kenyataan itu sering tidak tampak pada dokumen acara pengembangan budaya.

Berkenaan dengan itu, Stolp dan Smith (1994: xiii) menyatakan bahwa, bagaimanapun keadaannya, perubahan budaya lingkungan bergotong-royong menjadi tantangan yang berat. Sekolah berada dalam kondisi ketidakpastian. Karena itu, sekolah memerlukan perhatian pimpinan yang cerdas, yang bakir memecahkan duduk masalah yang kompleks pada gelombang perubahan yang arahnya serba tidak pasti. Langkah ini biasa disebut dengan mindset experimental.

Gelombang duduk masalah yang tiba selalu berbeda. Karena itu kepala sekolah harus selalu membaharui idenya secara inovatif untuk mendukung kebijakan dan tindakan yang efektif atau mencapai tujuan.

Tantangan utama kepala sekolah dalam membuatkan budaya sekolah ialah membangun suasana sekolah yang aman melalui pengembangan komunikasi dan interaksi yang sehat antara kepala sekolah dengan akseptor didik, pendidik, tenaga kependidikan orang renta akseptor didik, masyarakat, dan pemerintah. Komunikasi dan interaksi yang sehat mempunyai dua indikator yaitu tingkat keseringan dan kedalaman materi yang dibahas. Di samping itu, kepala sekolah perlu membuatkan komunikasi multi arah untuk mengintegrasikan seluruh sumber daya secara optimal.

Relevan dengan kondisi itu, Peter Senge menyatakan bahwa kepala sekolah perlu memerankan diri sebagai teladan yang ditunjukkan dengan indikator :
1) Menjadi personal yang berdisiplin tinggi dalam memfokuskan energi dalam mewujudkan visi-misi, bersabar, dan memahami fakta secara objektif.
2) Menjadi mental model dalam menghipnotis dan memahami keadaan sekitar dan serta sanggup merespon dengan tepat.
3) Mengembangkan visi-misi bersama sebagai dasar untuk membuatkan janji yang berkembang secara berkelanjutan sehingga kepala sekolah tidak hanya membuatkan kepatuhan.
4) Mengembangkan tim pembelajar yang dialogis, membuatkan kapasitas tim, mengganti perkiraan dengan pemikiran bersama.
5) Mengembangkan berpikir sistem yang mengintegrasikan dengan keempat disiplin di atas.

Mengapa harus membuatkan budaya sekolah?

Jawaban dari pertanyaan ini bergotong-royong menawarkan visi besar seorang kepala sekolah. Tujuan dari pengembangan budaya sekolah ialah untuk membangun suasana sekolah yang aman melalui pengembangan komunikasi dan interaksi yang sehat antara kepala sekolah dengan akseptor didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang renta akseptor didik, masyarakat, dan pemerintah. Makara jelaslah di sini, sebuah proses pendidikan membuat dan membutuhkan suasana yang komprehensif yang melibatkan hampir semua elemen kehidupan di sekitar. Semuanya terlibat, guru di sekolah, orang renta di rumah, lingkungan sekitar dan juga pemerintah.

Dari uraian itu sanggup disimpulkan bahwa keberhasilan pengembangan budaya sekolah menjadi penentu keberhasilan meningkatkan lulusan yang bermutu. Karena itu, kepala sekolah penting memperhatikan aneka macam prinsip utama sebagai berikut:
1) Budaya merupakan norma, nilai, keyakinan, ritual, gagasan, tindakan, dan karya sebagai hasil belajar.
2) Perubahan budaya meliputi proses pengembangan norma, nilai, keyakinan, dan tradisi sekolah yang dipahami dan dipatuhi warga sekolah yang dikembangkan melalui komunikasi dan interaksi sehingga mengukuhkan partisipasi.
3) Untuk sanggup mengubah budaya sekolah memerlukan pemimpin inspiratif dan inovatif dalam membuatkan perubahan sikap melalui proses belajar
4) Efektivitas perubahan budaya sekolah sanggup terwujud dengan membuatkan sekolah sebagai organisasi pembelajar melalui tugas kepala sekolah menjadi teladan.
5) Mengembangkan budaya sekolah memerlukan ketekunan, keharmonisan, dan usaha tiada henti alasannya budaya di sekitar sekolah selalu berubah ke arah yang tidak selalu sesuai dengan impian sekolah.

Jadi, dikala kita mendapati ada seseorang lulusan SD, SMP, atau SMA, yang mempunyai integrasi yang tinggi dan sanggup dipertanggungjawabkan, yakinlah bahwa hal tersebut bukanlah sebuah proses yang berdiri sendiri, melainkan ada prosedur yang sangat syamil dari sudut rumah, ruang kelas, dan lingkungan sekitar. Nah, sudahkah sekolah kita berbudaya?

*) Ditulis oleh Anwar Mulyana, M.Pd. Kepala SDN 2 Nagri Kidul Purwakarta

Artikel Terkait

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Penulisan markup di komentar
  • Untuk menulis huruf bold gunakan <strong></strong> atau <b></b>.
  • Untuk menulis huruf italic gunakan <em></em> atau <i></i>.
  • Untuk menulis huruf underline gunakan <u></u>.
  • Untuk menulis huruf strikethrought gunakan <strike></strike>.
  • Untuk menulis kode HTML gunakan <code></code> atau <pre></pre> atau <pre><code></code></pre>, dan silakan parse kode pada kotak parser di bawah ini.

Disqus
Tambahkan komentar Anda

No comments