Fungsi dan kiprah utama seorang guru sesungguhnya tidak sekedar mengajar anak didiknya. Tetapi lebih kepada mendidik, membina dan mengarahkan akseptor didik guna terjadinya perubahan sikap kearah yang lebih baik. Mengajar bisa dikonotasikan dengan transfer ilmu dari guru kepada murid. Persoalan apakah murid mengerti atau tidak itu bukan urusan guru. Lebih daripada itu mendidik, membina dan mengarahkan akseptor didik yaitu makna dari mengajar yang bersama-sama terkandung dalam kiprah seorang guru.
Baca juga: Bagaimana Menjadi Guru Idola? Inilah Caranya
Dalam konteks sekolah dasar maka penanaman nilai-nilai kharakter, akhlaq, sikap dalam diri seorang anak jauh lebih penting daripada pengetahuan-pengetahuan yang harus dimasukkan kedalam memori akseptor didik. Sekolah dasar sebagaimana fungsinya yaitu peletakan pondasi dan konsep pendidikan yang sesungguhnya, yaitu penanaman nilai dan perubahan perilaku.
Oleh alasannya itu lantaran begitu pentingnya penanaman nilai,pembentukan kharakter akseptor didik di sekolah dasar, maka kiprah dan fungsi guru di sekolah dasar juga tentu agak sedikit lebih berat dari sekolah diatasnya ibarat sekolah menengah pertama. Mengapa demikian? Karena kiprah dan fungsi guru ibarat dijelaskan diatas lebih kepada bagaimana menanamkan nilai-nilai kharakter, pembentukan pondasi akhlaq dan sikap sebagai bab penting bagi akseptor didik nantinya untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.
Makanya, dalam hal ini, guru tidak saja cukup hanya dengan transfer ilmu. Namun jauh dari itu bagaimana menjadi teladan bagi akseptor didiknya. Melakukan pengajaran dengan hati, bukan hanya dengan logika dan pikiran. Mengajar dengan hati lebih kepada bagaimana guru betul menghayati dan menjiwai nilai-nilai pendidikan itu sendiri dalam dirinya dan lalu itu menjadi pola positif bagi akseptor didik dalam kehidupannya. Keikhlasan seorang guru dalam mengajar juga menjadi hal yang sangat penting dalam proses pendidikan sekolah dasar.
Tentu saja ini kiprah berat dan tantang bagi guru sekolah dasar, bahwa keteladanan, pola positif dalam diri seorang guru itu sendiri jauh lebih penting dan efektif dalam pengajaran dibandingkan seorang guru yang hanya berkoar-koar dalam menjelaskan nilai dan sikap kepada anak. Apa yang disampaikan dari hati tentu saja akan diterima juga oleh hati, sebaliknya apa yang hanya sekedar diucapkan mulut hanya cukup untuk konsumsi indera pendengaran dan lalu dilupakan.
Mengajar dengan hati sesungguhnya merupakan wujud dari keikhlasan dan keyakinan dalam diri sang guru bahwa apa yang mereka inginkan ada pada diri anak didiknya, terlebih dahulu sudah mereka lakukan dalam diri sang guru tersebut. Inilah yang disebut dengan integritas. Ucapan dan tindakannya sama. Apa yang disampaikan itulah yang dilakukan dan apa yang dilakukan itu juga yang disampaikan.
Dalam hal ini, pelatihan kharakter dan akhlaq serta kepribadian guru sesungguhnya jauh lebih utama senantiasa harus ditingkatkan. Tidak cukup berbekal ilmu yang sudah didapatkan dibangku kuliah, tetapi harus terus menerus berguru dan mempelajari serta berusaha menjadi yang terbaik. Melaksanakan terlebih dahulu sesuatu yang akan disampaikan kepada anak akan jauh lebih efektif. Pesan agama juga mengajarkan bahwa Allah swt sangat benci dengan orang yang menyampaikan sesuatu yang tidak beliau kerjakan.
Bagaimana membuat guru yang bisa mengajar dengan hati? Jawaban pertanyaan ini tentu tidak gampang. Pertama faktor keikhlasan. Ikhlas dalam konteks ini berarti bahwa kiprah dan tanggung jawab yang diembannya sebagai seorang guru dianggap sebagai ibadah kepada Allah dan benar-benar murni dari dorongan hati nurani untuk sebuah dedikasi mewujudkan generasi bangsa yang lebih baik. Guru benar-benar meresapi dan menghayati profesinya sebagai seorang pendidik dengan sepenuh hati dan jiwanya. Hal ini akan memaksimalkan potensi yang dimiliki untuk bersungguh-sungguh berupaya memperlihatkan yang terbaik bagi anak didiknya. Pekerjaan ini tidak dilaksanakan asal melepas tanggung jawab saja, tetapi sudah menjadi bab dari hidup dan kehidupannya.
Baca juga: Mengajar dan Mendidik dengan Hati
Kedua, melaksanakan profesinya secara professional. Ini berarti bahwa guru harus melaksanakan kiprah dan kewajibannya secara baik dan benar. Pekerjaan dilaksanakan secara totalitas, terencana, terukur dan terevaluasi. Tidak setengah-setengah. Pekerjaan yang dilakukan dengan totalitas balasannya tentu saja juga akan maksimal. Perencanaan mencakup persiapan mengajar ibarat membuat planning pelaksanaan pembelajaran, mengenal akseptor didik dengan baik, persiapan mental guru dalam menghadapi anak dan mempelajari ilmu-ilmu yang menunjang terlaksananya tugas-tugas sebagai seorang guru. Pengenalan guru terhadap anak akan berimplikasi kepada kedekatan korelasi seorang guru dengan akseptor didiknya. Jika kedekatan korelasi emosional sudah terbangun, maka proses transformasi nilai-nilai tentu akan lebih mudah. Tentu saja kedekatan korelasi emosional ini harus terukur dan sewajarnya sebatas korelasi guru dan murid sebagaimana kedekatan emosional orang bau tanah dan anaknya.
Terakhir, Integritas seorang guru. Integrity is doing the right thing, even when no one is watching. Integritas lahir dari kesepakatan yang tinggi, kejujuran dan disiplin. Guru yang berintegritas mempunyai eksklusif yang jujur dan mempunyai kharakter kuat, tidak praktis goyah dan terombang-ambing. Guru yang berintegritas tentu saja guru yang melaksanakan kiprah dan tanggung jawabnya secara professional sesuai dengan hukum yang berlaku. Teguh memegang prinsip yang dimilikinya.
Mudah-mudahan kita bisa menjadi guru yang bisa memperlihatkan pengajaran dari hati kepada belum dewasa didik kita. Aamiin.
*) Ditulis dan dikirim ke oleh : Iqbal Anas, S.Pd. Kepala Sekolah SD Islam Terpadu Ma’arif Padang Panjang